Kamis, 17 Maret 2011

INMEMORIAM : Ikasuma Hamid


Oleh Hasril Chaniago

Saya baru akan mengayunkan tangan untuk suapan pertama makan malam ketika telepon tangan saya berdering. Di layar muncul nama Rizanto Algamar. Saya tangguhkan suapan itu, Rabu (16/3) tadi malam, dan telepon saya angkat…..

“Bung, kabar duka. Pak Ika sudah mendahului kita …” kata sahabat saya yang kini anggota Komisi I DPRD Sumbar itu langsung ke pokok informasi.

“Innalillahi wa inna Ilaihi raji’un…..” saya langsung berucap.

Ikasuma Hamid Dt. Gadang Batuah (66) adalah Bupati Tanah Datar dua periode, 1986-1991 dan 1991-1996. Perkenalan pertama dengan beliau adalah ketika saya meliput persiapan Kota Batusangkar menjadi tuan rumah Pekan Budaya Sumatera IV menjelang akhir tahun 1987. Pertemuan biasa saja, seorang bupati berusia 43 tahun diwawancarai wartawan 25 tahun. Beberapa hari kemudian, turun laporan saya sebagai Liputan Utama Singgalang edisi Minggu dengan judul “Menyambut Pekan Budaya IV: Kota Batusangkar Berubah Wajah”. Lebih 85 persen hasil liputan lapangan (on the spot), dan kurang dari 15 persen wawancara pejabat.

Dua hari setelah laporan itu, saya mendapat telepon dari Kabag Humas Tanah Datar N. Dt. Panduko. Pesannya, Pak Bupati mengundang saya ke Batusangkar, ingin bincang-bincang. Siip! Saya mengiyakan dan berjanji datang keesokan harinya. Terbalik nih yee…, pikir saya. Bupati mau mewawancarai wartawan.

Mengenakan stelan safari putih berkantong tiga, Pak Ika menerima saya secara khusus di ruang kerjanya yang sederhana di Kantor Bupati lama dekat Pasar Batusangkar. Hanya kami berdua. Dia mengaku terkesan dengan laporan saya, dan ingin bertukar pikiran. Bergalau perasaan saya. Senang, grogi, dan entah apalagi. Seorang bupati ingin bertukar pikiran secara khusus dengan seorang wartawan muda.

Sejak menjadi wartawan tahun 1983, saya termasuk sering mengunjungi Batusangkar, dan kebanyakan bukan untuk meliput berita. Saya sering diajak orangtua angkat saya, Bapak On Syafri –waktu itu pimpinan dealer Mitsubihsi di Bukittinggi dan Komisaris PT Bank Nasional—menginap di rumah beliau di Bukit Gombak. Saya melihat Batusangkar kota yang malang, kurang terurus. Tapi ketika meliput persiapan Pekan Budaya, saya sangat terkesan dengan perubahan yang terjadi. Kurang setahun Ikasuma Hamid jadi bupati, ibukota Tanah Datar itu kini sudah tercelak.

“Batusangkar ini kota yang ‘malang’,” kata saya kepada Bupati Ikasuma Hamid. Saya ambil selembar kertas putih, lalu saya buat empat titik berpencar, lalu keempat titik itu dihubungkan dengan garis lurus sehingga membentuk bidang mirip trapesium. Keempat titik itu adalah Kota Bukittinggi, Padang Panjang, Solok dan Payakumbuh. Titik kelima Kota Batusangkar nyaris di tengah-tengah bidang mirip trapesium itu. “Inilah Batusangkar, terkepung di sela keempat kota ini. Harus ada daya tarik luar biasa kalau ingin kota ini dikunjungi orang,” kata saya menjelaskan.

“Ya, itulah tantangan saya,” tugas Pak Ika. “Syukurlah, kalau Anda melihat Batusangkar sudah berubah. Ketika pertama kali jadi bupati, saya kaget sekali. Bayangkan, pasar ternak saja terletak di depan ruang kerja bupati,” katanya sembari menunjuk Lapangan Lomba Taruna di seberang jalan ruang kerja bupati. Bekas pasar ternak itu sudah menjadi lapangan terbuka hijau.

Sekitar dua jam kami berbincang. Pak Ika yang kalem dan rada pendiam itu bersemangat sekali menyampaikan berbagai program dan rencananya memajukan memajukan Tanah Datar. “Mau kan, kalau sering-sering saya undang,” katanya sebelum saya kembali ke Padang.

***

Itulah awal kedekatan saya dengan putra Kubang Landai, Saruaso, kelahiran 3 Februari 1944 itu. Setelah perbincangan yang pertama itu, hampir tak ada bulan berlalu tanpa saya berkunjung ke Batusangkar dan Tanah Datar memenuhi ajakan Pak Bupati.

Kesan saya yang mendalam tentang Pak Ika adalah semangat pengabdiannya yang tinggi untuk membangun masyarakat dan memajukan daerahnya. Pekan Budaya Sumatera Barat IV berlangsung sukses. Setelah itu ia mencanangkan Tanah Datar sebagai Kabupaten “Pertiwi” (Pertanian, Industri (kecil), dan Pariwisata). Hampir setiap saya ke sana, diajak keliling daerah. Ia menggalakkan tanaman cassiavera yang waktu harganya memang sedang bagus, dan mendorong masyarakat memelihara dan membudidayakan enau (aren) karena ternyata punya nilai ekonomi tinggi.

Satu kali, Pak Ika mengajak saya naik ke puncak bukit kecil di Pagaruyung. “Di sini kita akan bangun kantor bupati, di bawah situ masjid. Nah, kalau sudah selesai, lengkaplah Tungku Tigo Sajarangan di pusat Minangkabau ini –ada kantor pemerintah, masjid dan Istano Basa,” katanya menjelaskan.

Pak Ika tipe orang yang tak banyak bicara, tapi lebih banyak bekerja. Sebelum masa jabatan pertama berakhir, ia telah mewujudkan mimpi itu. Ia pun dinilai sukses. Masa jabatan pertama alumni Akademi Militer Nasional (AMN) 1968 ini dimahkotai dengan prestasi sebagai daerah tingkat II paling berhasil pembangunannya di Sumatera Barat dengan meraih penghargaan Parasamya Purnakarya Nugraha Pelita IV.

Kali yang lain, pada hari Minggu, di antaranya bersama Rizanto Algamar, ia mengajak saya naik-turun bukit sehari ‘baneneang’. Ia bercerita gagasannya mewujudkan kawasan wisata lintas alam. Sebelum perjalanan itu berakhir, lahirnya gagasan tentang “Talam Tantano Batuah” (singkat dari Lintas Alam Hutan Wisata Istano Bukit Batu Patah). Selama bertahun-tahun kemudian, iven tersebut pernah sangat populer di kalangan anak-anak muda pencinta alam di Sumatera Barat.

Tapi perhatiannya yang lebih besar adalah untuk meningkatkan taraf kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Ia mencanangkan pembangunan berwawasan budaya. Kesatuan masyarakat yang baru tercabik-cabik akibat perubahan nagari jadi desa, ia rekat dengan mendirikan Yayasan Pembangunan Nagari di seluruh kabupaten; memotivasi masyarakat meningkatkan solidaritas menjaga adat dan budaya dengan menggerakkan pembangunan surau suku di setiap desa. Yang lebih dahsyat adalah keberhasilannya menggerakkan masyarakat membangun dan memperbaiki ratusan rumah dengan kekuatan masyarakat sendiri dalam rangka program IDT (Inpres Desa Tertinggal).

Selama hampir 10 tahun saya bergaul dekat dengan Pak Ika dan menemui banyak sekali masyarakat Tanah Datar, tak sekalipun saya mendapati gunjingan miring mengenai bupati ini –misalnya soal uang, keterlibatan dalam proyek dan berbagai kabar negatif lainnya yang lazim menimpa kepala daerah. Ia hidup bersahaja dan tak banyak kehendak kepada staf –kata kepala bagian keuangan kepada saya, setiap kali dinas ke Jakarta, Pak Ika hanya minta uang Rp2,5 juta –sesuai jatahnya-- tak pernah lebih.

Hal lainnya, selama 10 tahun menjabat bupati, ia tak pernah membawa pejabat dari luar untuk menjadi pembantunya, kecuali seorang ajudan yang ia temukan di Kodim Tanah Datar ketika baru jadi bupati. Kebetulan, tentara itu bekas ajudannya juga ketika menjadi Komandan Batalion 131 di Payakumbuh. Tapi selama menjadi bupati, ia banyak mempromosikan stafnya ke luar daerah –di antaranya Sekda Muchtiar Muchtar jadi Walikota Payakumbuh, Ketua Bappeda Lukman Gindo jadi Walikota Padang Panjang dan bekas Sekda Nasrul Syahrun menjadi Bupati Padang Pariaman.

Setelah menjadi Bupati, kami masih terus bergaul. Ketika beliau masih off, tanpa jabatan, beberapa kali saya berkunjung ke kediamannya di Jalan Tanjung, Dangau Teduh, Lubuk Begalung. Begitu pula ketika beliau diangkat menjadi Staf Ahli Menteri Tenaga Kerja oleh Pak Fahmi Idris setelah Reformasi, hampir setiap kali ke Jakarta kami bertemu, umumnya di kantor dan beberapa kali di kediaman beliau di Jatiwaringin.

Setelah pensiun dengan pangkat terakhir Brigadir Jenderal TNI, Pak Ika terjun ke politik dengan menjadi Ketua PBR (Partai Bintang Reformasi) Sumatera Barat. Pada Pemilu 2004 ia terpilih menjadi anggota DPRD Sumatera Barat dan pernah menjabat Ketua Komisi D (Kesejahteraan Rakyat). Menjelang Pilkada 2005, saya hampir berhasil mempersandingkan Pak Ika dengan Pak Gamawan Fauzi sebagai calon gubernur dan wakil gubernur Sumatera Barat. Sudah beberapa kali pertemuan. Tapi karena jumlah kursi PBB dan PBR tak cukup untuk mengusungnya, maka kongsi itu batal dan Pak Ika digaet Irwan Prayitno jadi calon wakil gubernur. Sebagaimana diketahui kemudian, pasangan Gamawan Fauzi – Marlis Rahman yang terpilih, tapi Irwan – Ikasuma menang di Tanah Datar –satu tanda ia memang disukai rakyat di sana.

Setelah tidak lagi duduk di DPRD Sumbar sehabis pemilu 2009, Pak Ika lebih banyak tinggal di Jakarta. Pertemuan kami yang terakhir adalah dalam silaturahmi (calon) Presiden SBY dengan tokoh-tokoh masyarakat Sumatera Barat di Hotel Bumiminang bulan Juni 2009. Kebetulan Pak Ika ditunjuk menjadi Ketua Tim Kampanye pasangan SBY-Boediono untuk Sumatera Barat dalam Pilpres 2009. Tak ada yang kurang dari Pak Ika waktu itu, segar, bugar, dan tetap kalem. Senyum dan tawanya tetap khas dengan mata yang berbinar-binar.

Tak pernah pula saya mendengar Pak Ika sakit. Makanya sungguh mengejutkan bagi saya menerima telepon dari sahabat Rizanto Algamar, Rabu malam tadi.

Selamat jalan Pak Ika, selamat jalan Jenderal, Datuk Gadang Batuah. Semoga semua dosa dan kesalahanmu diampuni-Nya, dan semua amal ibadah dan amal kebaikanmu dibalasi Allah dengan pahala yang melimpah … (*)

Comments :

0 komentar to “INMEMORIAM : Ikasuma Hamid”

KOLOM IKLAN

KOLOM IKLAN
Spesifikasi Dendeng Batokok

Dijual Cepat 10 unit Komputer Bekas

Spesifikasi : HD SEAGATE BARRACUDA 250GB 7.2K RPM SATA II / 300. VP DIMM 1 GB DDR2. SDRAM 800MHZ 16IC. Processor 2,7 Ghz (E5400).MB NEXT Chipset Intel NG41.Keyboard + Mouse.LCD Acer 16".Rp. 25 jt Bebas biaya Instalasi (Nego).BONUS.HUB 16 port.Headset.Stavol 500 Volt.UPS ICA.Printer Canon.Card Reder.Tang kriping tool.Mouse Pad.USB hub segitaga 4 port.Speker Aktif Simbada.Kabel Bulden.

KOLOM IKLAN

KOLOM IKLAN
Hub. 0852 74 207 501