Kamis, 10 Februari 2011

Ketidakjelasan antara keuangan pribadi dengan keuangan umum (negara) telah menyebabkan seseorang melakukan korupsi. Bukan korupsi saja, masalah penjualan jabatan negara (venality of office) sesungguhnya bukanlah masalah baru. Hal tersebut sudah diperkenalkan pada masa VOC dan bahkan dipraktikkan di dalam kerajaan-kerajaan di Indonesia sehingga, muncul konsep bahwa jabatan umum di dalam satu negara adalah juga satu sumber penghasilan.
Menurut Alatas (1981), korupsi dapat berupa penyelewengan uang negara, pungutan liar atau pemerasan, uang pelicin dalam usaha menarik keuntungan dan lain sebagainya. Di bagian yang lebih terperinci dalam masyarakat korupsi terjadi, baik di kalangan menengah dan bawah, ataupun pada masyarakat kalangan atas.
Korupsi di kalangan masyarakat menengah dan bawahan hanya sekisaran penghasilan dan biasanya dihabiskan pada pada tingkat konsumsi kebutuhan keluarga. Sedangkan korupsi pada kalangan masyarakat atas berjumlah besar serta dapat dilihat sebagai konsentrasi modal atau uang di tangan pribadi-pribadi tertentu.
Korupsi di kalangan pejabat menengah dan bawahan dapat menyebabkan misalnya, pengiriman surat, pospaket macet, surat KTP tidak ada, izin usaha macet, pemilikan tak terdaftar, masuk sekolah tidak mulus, pengiriman barang yang menjadi mahal, transportasi yang dipersukar, pungutan liar pada sopir yang berpendapatan rendah, surat izin yang sukar diperoleh, izin ini dan itu dan seterusnya, yang kesemuanya menunjukkan ditemukannya kesulitan dan kemacetan secara besar-besaran. Umumnya, semua kesulitan dan kemacetan tersebut disebabkan oleh kecenderungan aparatur negara yang korupsi pada masyarakat tingkat menengah dan bawahan.
Korupsi memang bukan monopoli negara yang sedang membangun saja. Di negara yang sedang maju seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang dan lain sebagainya, skandal korupsi masih sering ditemukan. Yang membedakannya dengan korupsi yang terjadi di negara berkembang adalah bahwa korupsi yang terjadi di negara maju bersifat politis, yang dilakukan oleh para politisi dalam rangka memenangkan sebuah suksesi pemilihan dan sejenisnya.
Oleh karena jangkauannya masih terbatas pada elite tingkat tinggi. Sedangkan korupsi yang terdapat di banyak negara berkembang seperti Indonesia sudah bersifat wabah. Bahkan Bung Hatta pernah menggambarkannya kondisi tersebut sebagai perilaku yang telah membudaya. Demikianlah, korupsi sudah mencapai tingkat “mewabah”, yaitu sebuah kondisi yang tidak mungkin terbantahkan. Namun demikian, pernyataan bahwa korupsi sudah merupakan bagian dari kebudayaan, kelihatannya banyak yang keberatan. Memang sulit untuk menyatakan bahwa masyarakat sudah menerima korupsi sebagai bagian sestem nilai yang dianutnya.
Dari mana bermula korupsi, dari kalangan bisnis, aparat pemerintah atau kalangan lain, tentunya sulit untuk ditentukan. Dalam lingkungan di mana penyuapan merupakan bagian dari kebiasan, maka kalangan dunia usaha lazimnya akan menyesuaikan diri. Bahkan, kemudian sering dianggap sebagai bagian dari praktik usaha yang tidak dipertanyakan lagi. Bagi dunia usaha, penyuapan atau apapun namanya berarti tambahan biaya. Dari tambahan biaya tersebut, selama masih bisa menghasilkan surplus atau laba yang dianggapnya wajar, maka akan dilakukannya tanpa banyak keberatan.
Strategi Memberantas Korupsi
Di era reformasi sekarang ini upaya untuk melakukan pemberantasan terhadap korupsi juga terus dilanjutkan, terutama dengan dibentuknya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Namun demikian, korupsi terus berlanjut sampai saat sekarang ini. Oleh karena itu, menurut penulis, perlu kiranya langkah atau strategi untuk mengantisipasinya serta mengkikis habis praktik korupsi di negara kita. Beberapa upaya tentunya dapat dilakukan, yaitu sebagai berikut :
Pertama, perlunya penegakan hukum. Di era reformasi penegakkan hukum merupakan suatu keharusan. Upaya penegakan hukum harus dalam arti bahwa segala macam tindakan yang melanggar hukum termasuk para koruptor, mendapat ganjaran sesuai dengan perbuatan yang dilakukan.
Kedua, sebelum diadakan pemilihan seorang pemimpin, mulai dari presiden, gubernur, bupati dan pejabat pemerintah lainnya, perlu dilakukan cek apakah seorang calon pemimpin tersebut terindikasi melakukan tindak korupsi.
Pengecekan ini diperlukan mengingat bahwa pemimpin yang kita harapkan untuk masa depan negara ini adalah pemimpin yang bersih dari segala tuntutan hukum termasuk korupsi. Di era reformasi sesungguhnya langkah ini telah dilakukan ke beberapa aparat pemerintah, mulai dari tingkat pusat sampai tingkat tingkat daerah. Salah satunya dengan melaporkan segala macam kekayaan yang dimiliki oleh para penyelengara negara tersebut, yang secara tidak langsung merupakan satu upaya dari mencegah serta memonitor usaha ke arah korupsi.
Ketiga, perlu penanaman moral bagi para penyelengara negara khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Upaya penanaman moral merupakan suatu keharusan, karena tindakan korupsi sangat terkait dengan identitas moral seseorang. Selama moral seseorang baik, maka tindakan korupsi tidak akan terjadi. Lebih lanjut, ketika berbicara masalah moral, maka tidak terlepas dari apa yang disebut dengan jiwa keagamaan dari seseorang. Suatu ajaran agama, terutama agama Islam, upaya penamana moral yang baik sangat dituntut bahkan diwajibkan kepada semua umatnya.
Keempat, pendayagunaan fungsi pegawasan tentunya merupakan ikhtiar yang akan lebih sempurna pelaksanaannya setelah kita menelaah gejala-gejala yang berkaitan dengan manifestasi korupsi dalam masyarakat pada umumnya, dan khususnya dalam lingkungan aparatur pemerintahan yang bertugas mengelola pembangunan. Tentunya, hal ini sangat ditentukan oleh adanya dukungan oleh berbagai faktor yang ada di dalam objek pengawasan itu sendiri. Misalnya, adanya disiplin kerja yang memenuhi persyaratan manajerial akan melahirkan tenaga kerja yang jujur dan memiliki dedikasi tinggi terhadap tugas-tugasnya. Singkatnya, tertib kerja yang ditandai oleh disiplin tinggi tentunya mempermudah tugas pengawasan.
Baik korupsi di kalangan masyarakat kelas menengah, bawah dan atau masyarakat kalangan atas, harus mendapat perhatian serius. Suatu keharusan tampaknya bagi semua elemen masyarakat untuk mengikis habis korupsi di bumi Indonesia. Apalagi sekarang adalah masa reformasi, yang salah satu program yang dicanangkan adalah menghapus segala macam bentuk praktik korupsi. Usaha mengikis habis praktik korupsi juga membutuhkan eratnya kerja sama antar elemen yang ada di dalam masyarakat.
Masyarakat bekerjasama dalam upaya mengikis praktik-praktik korupsi yang ada. Kerja sama yang berkesinambungan, sekali lagi, merupakan hal mendasar yang harus ada dalam mengikis habis korupsi di negara kita. Oleh karena itu, apa yang terjadi di masa yang lalu tidak akan terulang lagi dan benarlah adanya ungkapan bijak bahwa, “belajar sejarah merupakan suatu hal yang baik untuk dapat melihat masa depan yang lebih baik. Wasallam.
UNDRI
(Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang)
Comments :
0 komentar to “Korupsi yang Mendarah Daging”
Posting Komentar